Kamis, 01 November 2012

Idi Rayeuk Dikuasai GAM Selama 14 Jam


Gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menduduki sebuah kota kecil, Idi Rayeuk, di Aceh Timur selama 14 jam sejak Kamis (1/3) hingga Jumat (2/3) pagi. Anggota GAM yang bersenjata lengkap itu baru mundur ke arah perkampungan penduduk, sekitar pukul 08.00 WIB pada Jumat pagi setelah digempur oleh pasukan gabungan TNI/Polri dalam
jumlah yang besar. Berikutnya, untuk mempertahankan kota tersebut dari serangan gerilyawan balik dari GAM, aparat mengerahkan dua unit panser dan satu helikopter.

Bendera GAM yang berwarna dasar merah dan bergambar bulan bintang, terlihat berkibar sepanjang 4 kilometer selama kota Idi Rayeuk dalam penguasaan gerilyawan GAM. Bendera tersebut diikat pada tiang-tiang yang kayu di sepanjang jalan negara Medan - Banda Aceh. Selain itu, GAM juga membakar sejumlah bangunan seperti asrama tempat tinggal keluarga Polri dan asrama keluarga pegawai lembaga pemasyarakatan. Rumah Tahanan yang berlokasi di
Desa Teupin Batee -- sekitar 3 km dari pusat kota Idi -- juga ikut dibakar
dibakar.

Menurut Kepala Rutan Idi, Usman Is, pihaknya tidak sempat menyelamatkan
dokumen-dokumen penting saat pembakaran rutan terjadi, hingga semuanya
hangus jadi abu. Selain itu, aset rutan lainnya yang juga dibakar, menurut
Usman adalah satu mobil tahanan dan satu unit sepeda motor. Sementara
sebagian bangunan rutan tinggal puing-puing setelah dilalap api.

Kemungkinan GAM berhasil menduduki kota Idi Rayeuk hingga 14 jam, khabarnya
karena aparat keamanan yang bertugas di sana sedang melakukan penyisiran di
desa-desa pedalaman setempat. Karena itu, ketika gerilyawan AGAM memasuki
kota tersebut dalam jumlah yang lumayan besar dengan senjata lengkap, aparat
keamanan tidak mampu mengimbanginya.

Kota Idi Rayeuk baru berhasil dikuasai kembali oleh aparat keamanan, setelah
pasukan gabungan TNI/Polri dalam jumlah yang lebih besar dikerahkan ke sana.
Akibatnya, kontak senjata selama beberapa saat terjadi tanpa bisa dihalangi.
Hingga kahirnya, aparat kembali menguasai kota tersebut setelah berhasil
memukur mundur anggota GAM.

Menurut catatan yang ada pada FP HAM Aceh Timur, tiga warga terluka akibat
terkena peluru nyasar saat terjadi kontak tembak antara aparat dan GAM.
Ketiga korban masing-masing adalah Juwairiah (40), warga Desa Keude Blang
yang terluka pada bagian leher. Nazimah (35) warga Kelurahan Gampong Jawa
dan M Ricki (21), warga Tanouh Anoeu.

Kasubsatgaspen Operasi Cinta Meunasah (OCM)-II Komisaris Besar (Pol) Kusbini
Imbar di Banda Aceh, Jumat malam, menyebutkan GAM telah membakar delapan
unit asrama Polsek Idi Rayeuk pada Jumat sekitar pukul 05.30 WIB.
Menurutnya, hingga pukul 20.00 WIB, Jumat malam, belum ada data pasti
tentang korban jiwa dalam peristiwa tersebut. (Zainal Bakri)

Mengintip Sejarah Kereta Api di Idi


Ini sebenarnya adalah kisah singkat perjalanan saat liburan Idul Fitri tahun ini, saya dan sekeluarga berkunjung ke kampung halaman ayah saya di Idi Rayeuk, Aceh Timur. Dulu ceritanya kakek saya adalah seorang masinis dari Banten yang bertugas di Stasiun Idi dan menikah disana. Praktis tempat tinggal beliau adalah komplek perusahaan kereta api (dulu PJKA). Sekarang komplek itu masih ada, sebagian sudah dibangun dengan bangunan baru, sebagian lagi masih mempertahankan bentuk lama. Masyarakat yang tinggal disana adalah keluarga/keturunan dari karyawan-karyawan kereta api jaman dulu. Mereka hanya berhak atas bangunan di atas tanah KAI bukan “tanahnya”. Tentu saja ini kondisi rawan gusur :(
Tanah komplek ini masih milik PT KAI (nama sekarang), ini terlihat dari beberapa plank pengumuman yang di letakkan di kawasan ini. PT KAI saat ini memang sedang getol-getolnya memverifikasi serta mendata kembali aset-aset nya di daerah. Aceh sebagai salah satu kawasan yang penting pada masa penjajahan Belanda memiliki sejarah kereta api yang mashur. Untuk sejarah kereta api Aceh itu sendir sudah banyak yang menulisnya d internet, jadi saya gak nulis lagi disini ya.
Tetapi dari sejarah yang saya kumpulkan, sangat jarang yang menyinggung tentang keberadaan stasiun kereta api di Idi Rayeuk ini. Mungkin saja dulu stasiun ini merupakan stasiun kecil atau stasiun transit. Namanya kurang terkenal jika dibandingkan dengan stasiun di Kutaraja ataupun Lhokseumawe. Terlepas dari hal itu, Stasiun Idi ini merupakan sedikit dari sekian banyak saksi sejarah tentang masyur nya sistem perkerataapian Aceh jaman dulu. Jika dibandingkan dengan kondisi mass transport kita yang masih amburadul saat ini. Proyek re-build sistem kereta api yang dulu sangat di gembor-gemborkan sekarang hanya tersisa gerbong pasif dan ribuan onggok rel di sepanjang jalan. Yaa..proyek peusenang rakyat Aceh mantong sang.

SEJARAH RAJA IDI RAYEUK

SEJARAH RAJA IDI RAYEUK

Rumoh Beusoe dulu dan sekarang! Di bawah pohon sawo, Tuanku Manyak, duduk bersila. Sesekali, pria 70 tahun itu menyedot dalam rokok kretek di tangannya. Mata tuanya liar menatap sekeliling bangunan rumah pangung berdiameter 4×8 meter, yang ditempatinya. Hari itu, ia seakan kembali menatap masa lalu. “Di sinilah berdiri Rumoh Beusoe (Rumah Besi). Ini bekas pertapakan rumah Raja Idi, keluarga saya,” katanya pekan lalu. Rumah yang ditempati Tuanku Manyak itu berada di Desa Keude Blang, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur. Warga di situ menyebutnya kawasan Lam Kuta atau kawasan raja. Berdiri di atas tanah seluas dua kali lapangan bola, pohon-pohon kelapa menghiasi sekitar rumah. Tidak ada yang istimewa dari rumah itu. Tak mirip bekas istana kerajaan. “Yang sekarang ini bukan Rumoeh Beusoe, rumah itu dibongkar sekitar tahun 1975, dulu keluarga saya ribut-ribut soal harta warisan, besi rumah dijual satu persatu oleh saudara tiri ibu saya,” sebutnya. Menurut Tuanku Manyak, hampir seluruh bagian dari Rumoeh Beusoe terbuat dari besi. Tinggnya mencapai lima meter. Selain tiang penyangga, siku rumah, kuda-kuda atap, tangga rumah itu juga terbuat dari besi. Rumah tersebut menjadi istana Kerajaan Idi, sebelum kerajaan itu runtuh, saat Belanda masuk menjajah. Dia mengisahkan, Rumoh Besoe dibangun saat kerajaan Idi dipimpin oleh Tuanku Chik Bin Guci, sekitar tahun 1880-an. Saat itu, Idi yang merupakan salah satu kawasan perdagangan di kawasan timur Aceh, banyak disinggahi para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk memburu hasil bumi. Tak terkecuali etnis tionghoa. Pada suatu waktu, saudagar Tionghoa, menghadap Tuanku Chik Bin Guci. Sang saudagar memohon agar diizinkan mendirikan Vihara sebagai tempat mereka beribadah. “orang Cina itu sebelumnya menetap di Malaysia, karena dia punya usaha di Idi, akhirnya dia menetap disini,” sebutnya. Raja mengabulkan permohonan itu. Syaratnya, mereka harus membangun sebuah rumah dari besi untuk ditempati raja, serta membuat sebuah komplek pekuburan kerajaan. Tak seperti Rumoh Beusoe yang tinggal cerita, vihara tionghoa masih berdiri kokoh di pusat pasar Idi, sekitar dua kilometer dari Rumoh Beusoe. Memang, tak ada lagi aroma asap dupa yang menusuk hidung. Bangunannya pun terlihat lusuh. Cat merah yang membalut seluruh bagunan kini telah memudar. Tapi dua patung naga yang bertengger di atap bangunan itu masih tampak garang. Mereka berdiri bak binatang penjaga Vihara Murni Sakti. Meski dari luar terlihat sepi, ternyata vihara itu masih ada yang urus. Rudinyo, salah satu pengelola vihara bilang, bangunan itu berdiri tahun 1888. Katanya, vihara itu salah satu yang tertua di Sumatera. “Vihara ini sudah sekitar 10 tahun lebih tidak ada kegiatan, kami sedang memperbaikinya kembali,” kata pria berusia 50 tahun. Menurut Rudinyo, Vihara Murni Sakti merupakan simbol kerukunan beragama di Aceh. Etnis minoritas Tionghoa yang memeluk agama Budha, ternyata bisa hidup berdampingan dengan warga Idi yang beragam Islam. Vihara ini juga merupakan saksi sejarah etnis Tionghoa pernah berjaya di sana. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang. Petaka datang tahun 1998. Saat itu, gelombang anti Tionghoa muncul di seantero negeri, tak terkecuali Idi. Aksi serupa juga muncul di Panton Labu, Geudong dan Lhokseumawe. Kala itu, ratusan preman berpakaian pramuka mengobrak-abrik tempat usaha warga Tionghoa. Harta benda mereka dihancurkan dan dibakar. Vihara Murni Sakti juga tak luput dari aksi perusakan. Patung-patung Budha satu persatu dirusak. Setelah peristiwa itu, Vihara tak lagi difungsikan. “Tapi itu konflik politik, bukan agama,” ujar Rudiyanto. Setelah kejadian itu, hampir semua orang Tionghoa angkat kaki dari Idi. Menurut Rudi, mereka pindah ke Jakarta, Batam dan Medan. “Mereka takut dibunuh,” ujar pria yang akrab disapa Bing-Hoe itu. Rudi sendiri memilih tinggal di Idi. Kini, dia bersama belasan warga Tionghoa yang masih tinggal di Idi berupaya menghidupkan kembali vihara itu. Pembangunan kembali dimulai sejak 2009. Rencananya vihara akan dirombak menjadi dua lantai. Namun, rencana itu batal karena diprotes tokoh agama setempat. “Kami diminta mempertahankan bangunan lama, tidak membangun dua lantai. Kami harus menyanggupi permintaan itu,” katanya. Rudi tak mempersoalkan pelarangan itu. Baginya, asal masih diperbolehkan beribadah di vihara saja sudah cukup. “Yang penting kami masih bisa sembahyang disitu,” sebutnya. Apalagi, vihara itu hadir disana atas persetujuan Raja Idi di masa lalu. Jika warga Tionghoa punya dana merawat peninggalan nenek moyangnya, Tuanku Manyak hanya bisa mengurut dada. Tak sekalipun situs sejarah peninggalan kerajaan Idi itu dipugar. Alih-alih dipugar, rumah bekas istana raja, malah dijual seperti barang loakan. Meskipun tanpa Rumoeh Besoe, di komplek Kerajaan Idi masih terdapat kuburan raja dan benteng kerajaaan. Sisa benteng itu terletak dibelakang komplek, dekat aliran krueng Idi. Kondisinya juga tak kalah memprihatinkan. Benteng itu hampir amblas akibat longsoran sungai yang tak pernah dibuatkan tanggul. “Kemarin itu ada anak-anak mahasiswa yang bantu mengecat dinding kuburan, sebelumya tidak pernah,” katanya. Kini, Tuanku Manyak mengawal lokasi komplek Kerajaan Idi itu sendirian. Dia adalah satu-satunya keturunan raja Idi yang masih menetap di sana. Manyak adalah anak ketiga dari Cut Nyak Fatimahsyam, putri tunggal dari Tuanku Chik bin Guci. Kakaknya yang pertama bernama Cut Nyak Cek, kini telah meninggal. Abangnya, Tuanku Cut, juga telah meninggal November tahun lalu. Mereka memilik adik kandung perempuan bernama Cut Nyak Puspa yang kini menetap di Jakarta. Meski kekuasaan monarki raja Idi telah runtuh, warga Keude Blang masih memperlakukan Tuanku Manyak sebagai orang yang dihormati. Saat ada warga yang menggelar kenduri dan acara pesta kampung lainnya, rumah Tuanku Manyak pasti kebanjiran makanan. Bahkan, setiap hari ada saja yang mengantar makanan untuknya. “Orang kampung disini selalu mengantarkan kuah dan makanan untuk saya, mereka semuanya yang menjaga saya” ujarnya. Tuanku Manyak pernah diajak adiknya menetap di Jakarta. Tapi, ia menolak. Dia tak ingin membiarkan makam peninggalan keluarganya terusik. Di sisa umurnya, Tuanku Manyak hanya punya satu harapan, ia ingin ada yang menjaga dan merawat komplek peninggalan Kerajaan Idi

SEJARAH RAJA IDI RAYEUK

Rumoh Beusoe dulu dan sekarang! Di bawah pohon sawo, Tuanku Manyak, duduk bersila. Sesekali, pria 70 tahun itu menyedot dalam rokok kretek di tangannya. Mata tuanya liar menatap sekeliling bangunan rumah pangung berdiameter 4×8 meter, yang ditempatinya. Hari itu, ia seakan kembali menatap masa lalu. “Di sinilah berdiri Rumoh Beusoe (Rumah Besi). Ini bekas pertapakan rumah Raja Idi, keluarga saya,” katanya pekan lalu. Rumah yang ditempati Tuanku Manyak itu berada di Desa Keude Blang, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur. Warga di situ menyebutnya kawasan Lam Kuta atau kawasan raja. Berdiri di atas tanah seluas dua kali lapangan bola, pohon-pohon kelapa menghiasi sekitar rumah. Tidak ada yang istimewa dari rumah itu. Tak mirip bekas istana kerajaan. “Yang sekarang ini bukan Rumoeh Beusoe, rumah itu dibongkar sekitar tahun 1975, dulu keluarga saya ribut-ribut soal harta warisan, besi rumah dijual satu persatu oleh saudara tiri ibu saya,” sebutnya. Menurut Tuanku Manyak, hampir seluruh bagian dari Rumoeh Beusoe terbuat dari besi. Tinggnya mencapai lima meter. Selain tiang penyangga, siku rumah, kuda-kuda atap, tangga rumah itu juga terbuat dari besi. Rumah tersebut menjadi istana Kerajaan Idi, sebelum kerajaan itu runtuh, saat Belanda masuk menjajah. Dia mengisahkan, Rumoh Besoe dibangun saat kerajaan Idi dipimpin oleh Tuanku Chik Bin Guci, sekitar tahun 1880-an. Saat itu, Idi yang merupakan salah satu kawasan perdagangan di kawasan timur Aceh, banyak disinggahi para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk memburu hasil bumi. Tak terkecuali etnis tionghoa. Pada suatu waktu, saudagar Tionghoa, menghadap Tuanku Chik Bin Guci. Sang saudagar memohon agar diizinkan mendirikan Vihara sebagai tempat mereka beribadah. “orang Cina itu sebelumnya menetap di Malaysia, karena dia punya usaha di Idi, akhirnya dia menetap disini,” sebutnya. Raja mengabulkan permohonan itu. Syaratnya, mereka harus membangun sebuah rumah dari besi untuk ditempati raja, serta membuat sebuah komplek pekuburan kerajaan. Tak seperti Rumoh Beusoe yang tinggal cerita, vihara tionghoa masih berdiri kokoh di pusat pasar Idi, sekitar dua kilometer dari Rumoh Beusoe. Memang, tak ada lagi aroma asap dupa yang menusuk hidung. Bangunannya pun terlihat lusuh. Cat merah yang membalut seluruh bagunan kini telah memudar. Tapi dua patung naga yang bertengger di atap bangunan itu masih tampak garang. Mereka berdiri bak binatang penjaga Vihara Murni Sakti. Meski dari luar terlihat sepi, ternyata vihara itu masih ada yang urus. Rudinyo, salah satu pengelola vihara bilang, bangunan itu berdiri tahun 1888. Katanya, vihara itu salah satu yang tertua di Sumatera. “Vihara ini sudah sekitar 10 tahun lebih tidak ada kegiatan, kami sedang memperbaikinya kembali,” kata pria berusia 50 tahun. Menurut Rudinyo, Vihara Murni Sakti merupakan simbol kerukunan beragama di Aceh. Etnis minoritas Tionghoa yang memeluk agama Budha, ternyata bisa hidup berdampingan dengan warga Idi yang beragam Islam. Vihara ini juga merupakan saksi sejarah etnis Tionghoa pernah berjaya di sana. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang. Petaka datang tahun 1998. Saat itu, gelombang anti Tionghoa muncul di seantero negeri, tak terkecuali Idi. Aksi serupa juga muncul di Panton Labu, Geudong dan Lhokseumawe. Kala itu, ratusan preman berpakaian pramuka mengobrak-abrik tempat usaha warga Tionghoa. Harta benda mereka dihancurkan dan dibakar. Vihara Murni Sakti juga tak luput dari aksi perusakan. Patung-patung Budha satu persatu dirusak. Setelah peristiwa itu, Vihara tak lagi difungsikan. “Tapi itu konflik politik, bukan agama,” ujar Rudiyanto. Setelah kejadian itu, hampir semua orang Tionghoa angkat kaki dari Idi. Menurut Rudi, mereka pindah ke Jakarta, Batam dan Medan. “Mereka takut dibunuh,” ujar pria yang akrab disapa Bing-Hoe itu. Rudi sendiri memilih tinggal di Idi. Kini, dia bersama belasan warga Tionghoa yang masih tinggal di Idi berupaya menghidupkan kembali vihara itu. Pembangunan kembali dimulai sejak 2009. Rencananya vihara akan dirombak menjadi dua lantai. Namun, rencana itu batal karena diprotes tokoh agama setempat. “Kami diminta mempertahankan bangunan lama, tidak membangun dua lantai. Kami harus menyanggupi permintaan itu,” katanya. Rudi tak mempersoalkan pelarangan itu. Baginya, asal masih diperbolehkan beribadah di vihara saja sudah cukup. “Yang penting kami masih bisa sembahyang disitu,” sebutnya. Apalagi, vihara itu hadir disana atas persetujuan Raja Idi di masa lalu. Jika warga Tionghoa punya dana merawat peninggalan nenek moyangnya, Tuanku Manyak hanya bisa mengurut dada. Tak sekalipun situs sejarah peninggalan kerajaan Idi itu dipugar. Alih-alih dipugar, rumah bekas istana raja, malah dijual seperti barang loakan. Meskipun tanpa Rumoeh Besoe, di komplek Kerajaan Idi masih terdapat kuburan raja dan benteng kerajaaan. Sisa benteng itu terletak dibelakang komplek, dekat aliran krueng Idi. Kondisinya juga tak kalah memprihatinkan. Benteng itu hampir amblas akibat longsoran sungai yang tak pernah dibuatkan tanggul. “Kemarin itu ada anak-anak mahasiswa yang bantu mengecat dinding kuburan, sebelumya tidak pernah,” katanya. Kini, Tuanku Manyak mengawal lokasi komplek Kerajaan Idi itu sendirian. Dia adalah satu-satunya keturunan raja Idi yang masih menetap di sana. Manyak adalah anak ketiga dari Cut Nyak Fatimahsyam, putri tunggal dari Tuanku Chik bin Guci. Kakaknya yang pertama bernama Cut Nyak Cek, kini telah meninggal. Abangnya, Tuanku Cut, juga telah meninggal November tahun lalu. Mereka memilik adik kandung perempuan bernama Cut Nyak Puspa yang kini menetap di Jakarta. Meski kekuasaan monarki raja Idi telah runtuh, warga Keude Blang masih memperlakukan Tuanku Manyak sebagai orang yang dihormati. Saat ada warga yang menggelar kenduri dan acara pesta kampung lainnya, rumah Tuanku Manyak pasti kebanjiran makanan. Bahkan, setiap hari ada saja yang mengantar makanan untuknya. “Orang kampung disini selalu mengantarkan kuah dan makanan untuk saya, mereka semuanya yang menjaga saya” ujarnya. Tuanku Manyak pernah diajak adiknya menetap di Jakarta. Tapi, ia menolak. Dia tak ingin membiarkan makam peninggalan keluarganya terusik. Di sisa umurnya, Tuanku Manyak hanya punya satu harapan, ia ingin ada yang menjaga dan merawat komplek peninggalan Kerajaan Idi